Man Yazro' Yahshud 1

Sebuah kisah.
Suatu ketika aku menemui seorang akhwat yang menangis didepan cermin. Terisak.
Entah siapa, kami sering bertemu tapi belum sempat untuk saling mengenal.
Sebaya dengan ku, tapi aura sederhana, pengasih, keibuan, ayu benar kawan.
Aku mendekati wastafel dan membasuh muka disana, ku biarkan akhwat itu tetap terisak dicermin sebelah. Sesekali ku lirik, tanpa ia tahu.
Singkat cerita akhirnya akhwat itu menceritakan masalahnya, seakan kami sudah kenal lama. Disebuah bangku panjang depan pintu masuk toilet.
"Adakah seorang suami yang membanding-bandingkan istrinya dengan wanita lain ?" Ungkap akhwat itu. Aku diam seribu bahasa, selain tak paham, aku pun ingin memberi ruang untuknya mengeluarkan setiap gumpal kecewa.
"Ini terjadi belum lama,beberapa bulan lalu tepatnya. Ia mengajak ana makan malam disebuah rumah makan yang mewah. Ini jarang terjadi, kami bukan pasangan yang berlimpah ruah harta. Kala itupun karena hari pernikahan kami tepat satu tahun, 25 Rabiul Awal. Ketika itu seorang wanita cantik, tinggi semampai, putih, giginya rapi, mendekati kami dan berdiri anggun didepan ana. Setelah bercerita banyak dan ternyata ia bekas pacar suami ana dikala SMA. Ia cinta pertama suami ana". Sejenak ia menghentikan tangisnya dan menarik nafas dalam, berat. Aku melihat ia menghatur nafas yg mulai sesak. Aku mulai mengingat kembali kalimat terakhir yang akhwat itu ucapkan kawan, Cinta pertama suami ana. Tajam, tentu kalimat itu menikam tuannya sendiri, akhwat itu.
"Sejak hari tersebut, suami ana sering memuji gadis anggun yg menjadi kekasihnya selama 4 tahun. Seolah memori-memori indah mereka memenuhi diri suami ana. Ana bisa melihatnya dari raut wajah suami ana yang tersenyum simpul. Ana kurang tahu penyebab mereka berpisah. Suami ana memang baru berhijrah dari masa kelamnya. Kami bertemu ketika kyai pondok santri Al-fatah resmi memberikan ajuan proposal untuk ana. Nampaknya beberapa waktu terakhir ia telah berubah, tidak lagi berpacaran ria, berkumpul-kumpul dg akhwat. Ana menerima proposal itu karena bujukan ibu ana, tidak bisa menolak rasanya jika ibu telah meminta. Tidak disangka, 14 bulan sudah kami menikah ana kehilangan sosok ikhwan yang selalu mengutamakan ana dari siapapun. Raib, ia seakan kembali kemasa kelamnya". Akhwat tersebut mengusap kedua pipinya yang basah kuyup, air mata bercucuran tanpa perintah.
"Ini aib suami ana ukhty, jangan kisahkan kepada sesiapapun. Tentulah ia memuji bekas kekasihnya itu ukht, kata orang cinta pertama memang membekas." Tukasnya.
"Cinta pertama ?" Tanyaku.
Ia tersenyum dan mengangguk, meyakinkan ku atas kebenaran hal itu. Lagi-lagi aku tak paham harus mengatakan apa. Yang bisa ku lihat ia akhwat pembohong besar, pandai betul membohongi diri sendiri.
"Tadi ia menghubungi ana untuk meminta izin, menjemput bekas kekasihnya ke pengajian kita. Kata suami ana, gadis anggun itu ingin bergabung dengan pengajian kita tapi tidak tau arah jalan. Gadis itu baru pindah disini, belum tahu seluk beluk Bangka. Ana izinkan, ana percaya suami ana bukan ikhwan macam kebanyakan. Tapi perih, dan tidak bisa menahan tangis lagi."
Aku merangkul akhwat itu, seakan begitu akrab. Tapi tidak bisa menenangkannya sama sekali. Ia memuncak, menjadi-jadi.
"Apa kurangnya ana ini? Tentu bukanlah akhwat yg sempurna ukhty.  Ana tidak bersolek, tidak bermewah-mewah. Sejak menikah 14 bulan tidak sekalipun ana membeli sepotong baju. Tidak pula dibelikan olehnya. Tidak pernah ana pakai pernak-pernik, agar tidak memberatkan ia  dunia dan akhirat. Dunia karena keuangannya, akhirat karena dosanya. Jangankan pewarna kuku dari arab, kuning kunyit didapur justru menghias jemari ana ukht. Parfum juga hanya dirumah, karena suami ana pun akan menjadi penanggung dosa zina jika lelaki asing menemui aroma parfum istrinya. Jangankan ikhwan selain ia bertengger dihati, memikirkan hal sekonyol itu pun tidak. Apabila marah, merajuk, itupun tak lebih dari tiga malam. Tidak pula meninggikan suara melebihi suaranya. Setiap ia pulang kerja air hangat ama sediakan untuk mencuci kaki dari penat sehari berjihad banting tulang memenuhi kebutuhan kami. Ia ikhwan pertama yang ana izinkan masuk kamar ku. Duduk dekat dengan ana. Hampir setiap malam kami mengaji bersama. Apa tidak cukup satu wanita untuknya ? Apa yang harus ana ubah dari tabi'at buruk ana ukhty? Ana sadar ukhty, tentu tak sebanding wanita yang 4 tahun bersamanya dengan yang baru 14 bulan. Apalah ana ini ukhty baginya. Tak molek, tak seputih dan seanggun bekas kekasihnya. Jikapun ia menaruh hati kembali kepada wanita itu ana ikhlas ukhty." Akhwat itu menangis sesegukan. Aku diam dan ku simpulkan wanita ini bukan hanya pembohong besar, tapi juga bermental penjajah kawan. Ia menjajah dirinya sendiri, hingga ludas dimakan prasangka. Kali ini akhwat itu diam, tidak melanjutkan lagi kisahnya. Sibuk dengan menarik-narik air yang memenuhi rongga hidungnya, sema. Ku upayakan untuk percaya kata 'ikhlas'nya tadi. Setidaknya tangisan akhwat ini cukup menjadi bukti agar aku 'Percaya' bahwa ia ikhlas. Ikhlas.
"Ukhty, percaya dengan suami anty ukht?" Tanya ku, semoga aku tidak mengawali pendapatku dengan keliru.
"Awalnya." Ujar akhwat itu, tangisnya mulai melemah. Ku simpulkan sekarang kepercayaannya kepada sang suami mulai goyah, hampir tumbang mungkin.
"Tentu sulit, ana bisa membayangkannya. Jika Rasulallah mensunnahkan ikhwan dg 4 orang istri pendapat ukhty bagaimana ?"
"Anty sudah menikah ?" Akhwat itu kembali bertanya kawan, sama sekali tak menjawab pertanyaan ku. Sebelum ku jawab, ku lihat lekat-lekat akhwat itu. Diwajahnya terpahat bahwa ia hanya ingin memastikan aku tak asal bicara.
"Belum." Jawabku malas.
"Pantas saja, anty tidak tahu rasanya. Tidak paham." Benar kawan, tak ada wanita yang sumringah, girang, bahagia, jika sudah membahas tentang ini. Seakan belum perang sudah harus menelan kekalahan. Hanya ikhwan yg menjadi suamilah yang dapat membuatnya menang, bahkan sebelum berjuang.
"Baiklah." Aku kembali diam. Setidaknya ku beri waktu agar ia berpikir bahwa aku benar-benar tidak paham sebagaimana yang ia katakan.
"Membayangkannya saja ana tidak mampu ukhty. Apa lagi benar-benar harus dimadu." Lanjutnya. Lagi. Padahal, baru beberapa menit yabg lalu aku mendengar kata ikhlas. Dasrun, wanita kawan ! Pembohong ulung, batin ku.
"Iya, ana paham ukht. Asbabun Nuzul firman Allah azza wa jalla pun bukan untuk memperbanyak, namun untuk mempersedikit jumlah istri. Karena pada masa itu bukanlah hal yg langka ikhwan beristri sembilan atau lebih. Bak sebuah pohon yg banyak buahnya." Hibur ku, tepatnya itu adalah sesalku. Semoga akhwat disampingku ini tidak merasa ia telah bercerita dengan orang yang salah.
"Ingat kisah Fathimah Az Zahra ukht ?" Tanya ku.
"Kisah yang mananya ?" Ia mengelap air yang naik turun dari hidungnya.
"Ketika itu Ali mengutarakan keinginannya menikahi seorang putri dari kerajaan musuh. Mungkin niatnya baik, agar mempersatukan dua kubu. Apa yang terjadi setelah itu ukht ?"
"Fathimah berlari seraya menangis menemui Rasulallah..." Ujarnya.
"Lalu Rasulallah bersabda, sesiapa yang menyakiti Fathimah berarti ia telah menyakiti ku." Lanjut kami, serentak. Kompak, padahal barulah bertegur sapa. Hingga detik inipun kami belum saling memperkenalkan diri. Kami tersenyum, yang berarti 'sepakat' kawan. Sepakat.
Tiba-tiba hp dalam saku akhwat itu berdering. Ia segera menerima panggilan dari hp tersebut. Ku simpulkan yg sedang diseberang telpon adalah suami akhwat itu. Karena, ia memelankan suaranya ketika berbicara dg si penelpon. Berupaya menutupi bahwa ia sedang menangis.
"Iya bi, ana menuju kesana." Ia mengakhiri perbincangan singkat mereka. Ku kira akhwat itu akan meledak-ledak kawan, ternyata ia menutupi kesedihannya bahkan didepan suami. Tak salah duga ku, pembohong betul akhwat ini.
Ia berpamitan, kami bersalaman dan berpelukan. Ia membasuh wajahnya di wastafel lagi sebelum menemui suaminya, dan sang gadis anggun nan jelita yg ia kisahkan tadi.
Dihalaman masjid tibalah sebuah mobil. Turun seorang ikhwan dan akhwat dari mobil tersebut. Akhwat tadi menyalami ikhwan dan akhwat yang baru tiba itu.
Aku amati dari jauh. Mereka bertiga mengelilingi masjid saja lalu pergi lagi. Mungkin karena gadis anggun bekas kekasih sang suami datang terlambat, pengajian kami telah selesai maka mereka hanya mengelilingi masjid.Ku rasa ikhwan itu adalah suami akhwat tadi, dan akhwat yang bersama mereka adalah si gadis anggun yang tak lain tak bukan si mantan.
Setelah mereka pergi aku masih duduk di kursi yang sama. Tertegun.
Benar kawan, aku bisa melihat sang suami akhwat tadi sangat acuh. Ia dan istrinya berjalan masing-masing tanpa menggenggam tangan istrinya. Ia tidak membukakan pintu mobil untuk istrinya. Ia juga tidak menatap istrinya seperti tatapan manusia yang sedang dipenuhi cinta. Ia acuh kawan. Entah karena sang istri tidak memikat baginya atau memang ia tak pandai bersyukur. Jika tidak mendengar cerita akhwat tadi, tentu aku berpendapat bahwa dua sejoli itu menikah karena paksaan. Ia menatap istrinya tak ubah seperti melihat wanita kebanyakan kawan. Tak ada istimewa-istimewa sedikitpun.
Begitulah, lain tertanam lain pula tertuai.
Iya, siapa menanam padi tentu menuai padi. Tak mungkin menuai semangka. Man yazro' yahshud, begitu petuahnya. Tapi siapa kira padi yang ditanam justru yang dituai buruk, tak sebaik bibit bahkan kosong tak berisi. Aku berpikir kembali seribu kali mengenai manis betul pernikahan. Manis, manis. Apalagi jika ku dengar asbab pasangan bercerai. Manis kawan. Harusnya bukan aku yang bertemu akhwat tadi, tapi karib-karib ku yang sudah lama ingin menikah. Nanti kisah kalianpun akan ku tulis ya lima orang akhwat tangguh. Kisah lima sekawan dan lima pangeran, melankolis betul judulnya. *efek hujan, mendadak melankonyol.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKUNTANSI MULTINASIONAL : TRANSLASI LAPORAN KEUANGAN ENTITAS ASING

Perusahaan Dalam Kesulitan Keuangan

Macam-macam Kalender