Man Yazro' Yahshud 2

Assalamu'alaikum.

LANJUTAN...

Ia sesegukan, menyeka-nyeka air mata tak berkesudah. Aku sangat malu dibuatnya, akhwat satu ini tidak terlalu pandai menutupi perasaan. Mudah sekali menangis, dan tidak memedulikan keadaan sekeliling sama sekali. Jika sedih ia menangis sejadi-jadinya, tidak perduli di pasar, majelis ilmu, ada atau tidak ada orang. Begitulah sedikit yang ku ketahui tentang ia, sejauh pengamatan amatir ku. Aku segera angkat bicara, jika tidak ia akan terus menangis hingga mencapai titik jenuh, dan itu bisa memakan waktu berwindu-windu kawan.
"Bagaimana jika anty lanjutkan kisahnya, dan tidak perlu menangisi yang tidak pantas untuk ditangisi." Tukasku tak simpatik.
Kebanyakan wanita memang begitu, mengerjakan dua hingga tiga hal dalam kurun waktu yang sama. Seperti bercerita + nangis, atau yang lebih parah lagi bercerita + nangis + meminta solusi + meminta kita merahasiakan setiap ceritanya, lalu suatu hari bahkan dihari yang sama_parahnya_ia sendiri yang menceritakan kesedihannnya lalu menangis lagi dihadapan objek kedua, kemudian meminta solusi lagi, lalu meminta merahasiakannya lagi pada objek kedua bahkan objek selanjut-selanjutnya. Hingga pada akhirnya, tidak ada yang perlu dirahasiakan, tepatnya begitu.
Masjid semakin sepi, aku dan ukhty Emil masih menjadi pendengar setia akhwat yang pernah kuceritakan sebelumnya. Nama beliau May, ukhty May.
"Sekarang lebih menjadi-jadi ukht, sering mereka makan siang bersama dengan kawan-kawan kantor lainnya bahkan pernah pula hanya berdua. Suami ana sering mengendarai mobil bekas kekasihnya itu." Kali ini tidak diimbuhi tangis lagi, setidaknya ukhty May tahu jika menangispun membuat ceritanya semakin lambat dan hari semakin sore, langit memerah perlahan.
"Bagaimana pendapat anty ukht ?" Aku bertanya kepada ukhty Emil, yang sedari tadi sepertinya berpikir keras tentang ukhty May.
"Emmm... bagaimana jika anty bilang ke suami mengenai kecemburuan anty? Mungkin akan lebih baik ukht" Ujar ukhty Emil, sepertinya bersebrangan dengan pendapatku pribadi, dalam hati.
"Ana bingung, hendak memulainya dari mana." Ukhty May menunduk.
Aku memberi kode kepada ukhty Emil, dengan bicara tanpa suara bahwa ukhty May tidak mungkin melakukan hal tersebut. Sejauh yang aku pahami tentang beliau begitu, dan lagi-lagi ini berdasarkan pengamatan amatirku tentang sikap-sikap manusia. Ukhty Emil mengangguk takzim, bak boneka di dasbor mobil angkutan kota.
"Ukhty May tidak akan melakukan hal tersebut..." Yakin, haqqul yakin. Ukhty Emil percaya jika aku tidak akan berpendapat tanpa alasan. Sesekali ia mengamati ukhty May yang masih tertunduk, bertambah pula keyakinan ukhty Emil terhadap pendapatku. Sudah ku bilang kawan, lagi-lagi ini hasil pengmatan amatirku.
"Jika antum diposisi ana bagaimana ukht ?" Ukhty May mengangkat kepalanya, melempar pandang kepada ukhty Emil pun aku. Terdiam.
"Seperti pendapat ana tadi, ya... kalau ana di posisi demikian ana akan memberi tahu jika ana tidak menyukai perilakunya..." Ukhty Emil mempertegas, ana pun berharap ukhty May sepakat akan hal itu. Sejauh yang ana ketahui, ukhty Emil pun selalu berbicara dengan pertimbangan, dan realistis.
"Kalau anty ?" Ia melempar pandang kepada ku. Ragu awalnya, tapi aku yakin ukhty May akan melakukan apa yang ia anggap benar. Pendapat ukhty Emil dan pendapatku hanya sebagai pertimbangannya, tidak lebih.
"Ikuti skenario yang dimulai suami anty..." Ragu, aku benar-benar ragu kawan.
"Maksudnya ?" Ukhty May mengerutkan keningnya, kedua alis akhwat 24 tahun itu hampir bertemu.
"Emmm... ana juga tidak mafhum ukht, entahlah." Aku benar-benar tidak bisa memahami diriku sendiri, apalagi mereka.
Ukhty May kembali tertunduk. Baik ukhty Emil maupun aku tidak dapat membantu sedikitpun.
"Mungkin karena dua tahun pernikahan kami belum juga memilikinya......" Seraya memperbaiki duduk ukhty May berpraduga. Ukhty Emil dan aku maksud dengan kalimat ukhty May tersebut, walau kalimat tersebut tak berujung. Buah hati maksudnya Kawan.
"Itu bukan alasan, bukan ukht." Aku melihat akhwat itu tenggelam dalam masalahnya. Ia tak hirau, mengambil tas dan perlengkapan lainnya. Ukhty Emil dan aku melihat akhwat itu berkemas, menyalami kami, dan berlalu. Kami ikuti langkahnya dari belakang menuju teras masjid hingga ketika ia mengenakan sepatu.
"Anty tidak dijemput suami ?" Tanyaku, hati-hati.
Menggeleng lemas. "Masih ada angkutan umum..." Seraya tersenyum kepada ukhty Emil dan aku, ia berlalu. Ia melangkah putus asa. Berbicara dengan kami tidak pula menyurutkan kesedihannya, apalagi jalan keluar. Untuk beberapa menit kedepan ukhty Emil dan aku tidak angkat bicara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, tentunya ukhty May. Semoga ia peroleh jalan keluar terbaik, dan segera.
Hari semakin sore, langit yang tadinya memerah perlahan menghitam. Binatang siang berduyun-duyun pulang kesangkar juga kekandang. Berganti jatah dengan binatang malam. Ukhty May telah bertolak, tapi... sedikit banyak masih tertinggal masalah yang ia hadapi dipikiran ukhty Emil dan aku.
Masjid yang tadinya sepi perlahan ramai kembali. Ummat Rasulallah hendak tunaikan ibadat sholat maghrib. Petang kawan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKUNTANSI MULTINASIONAL : TRANSLASI LAPORAN KEUANGAN ENTITAS ASING

Perusahaan Dalam Kesulitan Keuangan

Macam-macam Kalender